Shalat Idain (1)
Setelah kemaren aku bercerita tentang pengalaman shalat Idul Fitri di Korea yang “berbeda”, sekarang aku akan bercerita tentang “perbedaanya”. Apa pula itu. Hehehe, kalau bingung, baca posting sebelumnya. Pada posting sebelumnya aku bercerita bahwa ketika melaksanakan shalat Idul Fitri di Kyung Hee, tata cara pelaksanaannya menggunakan mazhab Hanafi, karena sebagian besar warga Kyung Hee adalah orang Pakistan, di mana di sana marak menggunakan mazhab tersebut. Sedangkan kita, warga Indonesia, yang sebagian besar menggunakan mazhab Syafi’i akan merasa kebingungan, hal ini terbukti ketika mbak Vita “salah” dalam shalat, kkk.
Dan kali ini aku akan mencoba membahas tentang shalat Idain (Idul Fitri dan Idul Adha) dari berbagai pendapat ulama dalam Islam. Kembali aku tidak mencoba untuk merujuk kepada salah satu mazhab secara tendensius, tidak mencoba untuk menyalahkan atau membenarkan, mengatakan mana yang lebih baik, bukan, itu bukan kapasitasku. Aku hanya mencoba memberi gambaran saja, dan mohon koreksinya kalau ada yang menyimpang.
Hukum
Mengenai hukum shalat Idain, Mazhab Hanbali mengatakan kalau hukumnya fardhu kifayah, sedangkan Mazhab Maliki dan Syafi’i mengatakan kalau hukumnya sunnah muakkad. Mazhab Hanafi mengatakan hukumnya adalah fardhu ‘ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jumat. Apabila ada syarat yang tidak terpenuhi, maka kewajiban akan menjadi gugur. Dasar hukumnya adalah hadist yang bersumber dari Ummu ‘Atiyah:
Mengenai hukum shalat Idain, Mazhab Hanbali mengatakan kalau hukumnya fardhu kifayah, sedangkan Mazhab Maliki dan Syafi’i mengatakan kalau hukumnya sunnah muakkad. Mazhab Hanafi mengatakan hukumnya adalah fardhu ‘ain dengan syarat-syarat yang ada pada shalat Jumat. Apabila ada syarat yang tidak terpenuhi, maka kewajiban akan menjadi gugur. Dasar hukumnya adalah hadist yang bersumber dari Ummu ‘Atiyah:
أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.
Hukum menjalankan shalat Idain yang fardhu ‘ain ini berimplikasi pada shalat Jumat. Loh koq? Hukum Shalat Jumat menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat Id jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari Id (maksudnya hari Id ada di hari Jumat), karena sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula (shalat Jumat dan shalat Id dihukumi sama: fardhu ain [bagi laki-laki untuk shalat Jumat]). So, seseorang boleh tidak mengerjakan shalat Jumat apabila hari Id jatuh pada hari Jumat. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jumat agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jumat bisa hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Mazhab Hanbali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari hal ini adalah:
Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَفَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan dua Id (hari Idul Fitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan melaksanakannya.” (H.R. Abu Daud No. 1070 dan Ibnu Majah No. 1310)
WaktuMenurut Mazhab Maliki, Hanbali, dan Hanafi, waktu pelaksanaan shalat Id adalah dimulai dari matahari setinggi tombak (kira-kira 20 menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Hadits Al Arba’in An Nawawiyah) sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). Sedangkan Mazhab Syafi’i mengatakan kalau waktu shalat Id adalah sejak terbitnya matahari sampai waktu zawal.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengakhirkan shalat Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”
Tujuan mengapa shalat Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.
Tempat Pelaksanaan
Shalat Id lebih utama dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
Shalat Id lebih utama dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.” (H.R. Bukhori No. 956 dan Muslim No. 889).
Tidak ada Shalat Sunnah Qobliyah dan Ba’diyah
Dari Ibnu ‘Abbas berkata,
Dari Ibnu ‘Abbas berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fitri, lalu beliau mengerjakan shalat Id dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah Id.” (H.R. Bukhari No. 964 dan Muslim No. 884)
Tidak Ada Adzan dan Iqomah
Dari Jabir bin Samuroh berkata,
Dari Jabir bin Samuroh berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan shalat Id (Idul Fitri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.” (H.R. Bukhori No. 887)
Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat Id tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan ‘Ash Sholaatul Jaam’iah.’ Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”